Kawasan Konservasi
Ajang Pertarungan Akses dan Kontrol Terhadap Sumber Daya Alam
Kata konservasi yang selama lebih dari tiga dasawarsa dipakai untuk kawasan-kawasan lindung di Indonesia pada kenyataan dari segi pengelolaanya hanyalah jargon semata.Fakta hingga saat ini laju kerusakan dan pengrusakan aset-aset penghidupan, baik didaratan maupun dilautan, melaju tidak terkendali sampai pada detik ini. Perusakan hutan mencapai anggak 3,8 juta hektar pertahun, penambangan dihutan lindung dilegitimasi melaui perpu 1/2004, bencana alam akibat penebangan kayu semakain terjadi, sampai pada pengusiran dan kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat lokal di berbagai kawasan perlindungan alam di Indonesia.
Berbagai bentuk pengelolaan ” kawasan konservasi” yang dilegalkan oleh pemerintah, salah satunya berbentuk taman nasional yang saat ini berjumlah 50 buah dengan luasan sekitar 15 juta hektar atau 66 persen dari kawasan alam yang dilindungi atau 10 persen kawasan hutan di tanah air, apabila dilihat telah gagal untuk melestarikan sumberdaya alam dan jauh dari harapan bagi kesejahteraan masyarakat setempat / lokal.
Jargon konservasi yang dipakai selama ini, bagi kalangan masyarakat sipil dan umum berarti adalah eksploitasi !!, Fakta menunjukan bahwa eksploitasi sumber daya alam dikawasan konservasi terus saja berlanjut dan dibiarkan. Kawasan konservasi bagi pemerintah berarti menutup pintu akses dan kontrol bagi masyarakat lokal namun membuka lebar-lebar bagi swasta untuk mengeksploistir aset-aset didalamnya. Sehingga pertanyaannya adalah, Konservasi untuk siapa dan untuk apa, kalau laju perusakan akibat eksploitasi aset-asaet alam dan pemiskinan masyarakat lokal masih saja terus terjadi ??
Sesunguhnya jargon konservasi yang dianut oleh pemerintah, dan sayangnya kemudian dianut pula oleh banyak kalangan termasuk LSM lingkungan sekalipun, diimpor dari negeri barat (yellow stone concept) yang sangat jauh berbeda karakteristik sosial, budaya, ekonomi dan religi bangsa Indonesia sebagai masyarakat timur. Akibat pemaksaan doktrin konservasi, paling tidak sejak tahun 1980-an, ketika 5 Taman nasional pertama dideklarasikan telah menyebabkan luntur dan hancurnya praktek-praktek pengurusan aset-aset alam yuang sudah dilakukan oleh penduduk sejak ratusan tahun yang lalu. Ketika benteng kearifan tradisoanal sudah secara sitematis dihancurkan melaui berbagai macam proyek-proyek pembangunan beserta teori-teorinya, akan semakin mudah bagi agen-agen liberalisasi untuk mengklaim dan mengeruk aset-aset penghidupan.
Perkembangan politik konservasi
Perkembangan politik konservasi dapat dirunut sejak jaman kolonial Belanda bercokol di negeri ini, konsep yang digunakan adalah warisan dari pemerintahan kolonial belanda yaitu konsep pengawetan alam (nature perservation). Konsep ini didukung oleh politik kebijakan pemerintah warisan kolonial yaitu dutch staatsblad 278 / 1916 dan dutch ordinase 1941 kemudian hal tersebut disempuranakan dengan UU No 5 1967 setelah Indonesia merdeka. Ketiga hal tersebut yang kemudian menjadi asas juridical power pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi sampai tahun 1980, hal tersebut lebih dikenal sebagai politik pengawetan alam yang kemudian banyak dipermasalahkan karena sangat tidak cocok dan tidak sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan kepentingan atau tidak fleksibel akan kepentingan. Sejak tahun 1980 politik tersebut bergeser pada konsep pengelolaan kawasan menjadi sebuah diskursus konservasi alam (natural conservation) yang kemudian menghasilkan 10 Taman Nasional di Indonesia dan sejak tahun 1990 -1992 kemudian dirubah menjadi pengelolaan kawasan konservasi keanekaragaman hayati (biodervisity kehati) dengan kebijakan pemerintah yang melegalkanya melui UU No 5 1990, UU No 5 1994, UU No 5 1967 dan UU No 41 /1999. Hal-hal tersebut yang menjadi kekusaan yuridiksi (juridical power) pemerintah dalam pengelolan kawasan dan selanjutnya juga menjadi diskursus pengetahuan yang menjadi power oleh lembaga-lembaga international yang hingga saat ini telah menghasilkan 50 Taman Nasioanal Di Indonesia berdasarkan konsep pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati.
Narasi Konservasi dan kekuasaan (power)
Menurut Soeryo Adiwibowo, politik konservasi berpijak pada 2 kekuasaan (power): yaitu pertama Kekuasaan yang diperoleh karena legitimasi hukum (legal-juridical power) hal ini yang dijalankan oleh pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi kedua, Kekuasaan yang diperoleh karena akumulasi dan formasi diskursus konservasi yang digalang oleh aktor global (global discourse power) hal ini yang kemudian dijalankan oleh aktor global ( LSM International dan Bank Dunia). Dalam menggunakan narasi konservasi, aktor-aktor global, Pemerintah dan beberapa LSM mengunakan narasi konservasi yang bersumber dari ilmu pengetahuan modern (scientific knowledge) yang dalam ilmu pengetahuan modern tersebut terkandung nilai-nilai keilmuan yang bersifat scientific knowledge (pengetahuan yang dihimpun dari keilmuan), Universal Knowledge (pengetahuan yang bersifat universal), Western Knowledge (pengetahuan dari dunia barat), dan Modern Knowledge (pengetahuan modern). Beberapa sifat pengetahuan tersebut kemudian digunakan para aktor untuk penetapan batas kawasan dan zonasi di taman nasional yang kemudian hal tersebut ditransformasi menjadi kekuatan (power) dalam pengelolaan kawasan konservasi. Disisi lain masyarakat local (dan beberapa LSM lokal menggunakan narasi konservasi yang diperoleh dari pengetahuan lokal (indegeneus knowledge), hal ini didasarkan pada nilai-nilai lokal seperti Local/Tacik Knowledge (pengetahuan local, tak tertulis, implisit), Folk Knowledge ( pengetahuan dari legenda, dongeng, cerita rakyat), Indegeneus Knowledge (pengetahuan masyarakat lokal) dan Traditional Knowledge (pengetahuan tradisional) hal tersebut yang menjadi titik tolak dalam penerapan kawasan wilayah kelola rakyat dan batas kawasan / tata ruang wilayah adat kemudian ditranformasi sebagai kekuatan oleh masyarakat dalam mengelola wilayah kawasan mereka.
Diskursus dan narasi konservasi tersebut kemudian diartikulasikan, disebarluaskan dan disosialisasikan dengan power yang dimiliki oleh masing-masing aktor dan hal tersebut sering terjadi benturan dilapangan antara aktor-aktor yang berkentingan.
Permasalahan Kawasan Konservasi di Indonesia
Dalam perkembangan sejak zaman kolonialisme sampai saat ini pengelolan kawasan konservasi termasuk taman nasional banyak mengalami permasalahan yang carut marut terutama dengan masyarakat lokal yang berada disekitar kawasan tersebut. Konsep pengelolaan kawasan dalam konsep pengawetan atau preservasi banyak berbenturan terutama dalam wilayah-wilayah hukum yang telah menjadi juridiksi dari pemerintah melalui undang-undang konservasi, namun sangat disayangkan juga undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan dan ekositemnya, dilihat dari namanya mengunakan kata konservasi namun dalam penjabaran pasal-pasalnya masih menggunakan istilah pengawetan, atau pelestarian atau preservasi. Konservasi dipahami sebagai bentuk pengelolaan alam yang berkelanjutan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan alam dan manusia agar kelangsungan hidup semua komponen lingkungan dapat berjalan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Jadi undang-undang konservasi Nomor 5 dalam kaji materil masih mengalami kekeliruan penafsiran atau kesalahan pandangan / sesat logika atas istililah konservasi dan preservasi. Konsep preservasi (pengawetan) menyatakan bahwa pelestarian/ pengawetan alam liar dilakukan demi alam itu sendiri sementara konsep pemanfaatnya tidak membenarkan pemanfatan alam secara langsung oleh manusia sehingga harus dijaga agar kondisi alam tidak berubah sebagaimana adanya, mempertahankan atau pengawetan alam dalam kondisi alamiah agar silkus alam tetap berlangsung tanpa campurtangan manusia. Menurut Undang-Undang No. 41 / 1999 tentang Kehutanan, Dalam penjelasan pasal 24, alenia 3: “…..Kawasan tanaman nasional ditata kedalam zona sebagai berikut : (a) zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia…..”Dari bunyi perundangan tersebut, maka beberapa hal yang menjadi substansinya adalah Pertama, Hutan cagar alam, zona inti dan zona rimba taman nasional tidak diperkenankan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Dalam konteks ini, tentu saja bahwa sekecil apapun perubahan tersebut merupakan hal tidak boleh sama sekali (haram) bahkan untuk mencari ikan dan menginjak rumput sekalipun dilarang. Kedua, dalam taman nasional, khususnya pada zona inti dan zona rimba tidak sedikitpun boleh terjadi aktivitas manusia, termasuk rakyat lokal yang selama ini sudah berinteraksi dengan alam sejak nenek moyangnya didalam kawasannya.
Penterjemahan dari legitimasi tersebut yang kemudian menjadi persoalan yang sangat sering terjadi dilapangan (eco-fasis) dimana di beberapa kasus kawasan konservasi dan taman nasional di Indonesia terjadi pengusuran terhadap masyarakat lokal bahkan merengut korban jiwa sebagaimana kasus taman nasional komodo dimana 2 nelayan lokal ditembak oleh pengelola kawasan hanya karena alasan memasuki areal konservasi. Dalam cacatan Walhi hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Sablat dan bebarapa kawasan lainya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penagkapan ikan di kawasan tangkap tradisioanl mereka yang di klaim sepihak sebagai zona inti taman nasional. Persoalan-persoalan akses terhadap kawasan tersebut kemudian terakumulasi menjadi sebuah perlawanan terhadap kebijakan. Di dongi-dongi Palu areal Taman Nasional dikuasai oleh masyarakat 4 desa sekitar karena telah membatasi hak-hak kelola rakyat mereka yang kemudian terakumulasi dengan terbentuknya kelembagaan adat dan memiliki wilayah kelola rakyat ngata Katuvua Dongi-dongi di sebagian wilayah Taman Nasioanal Lore Lindu yang diatur dalam zonasi lengkap dengan aturan-aturan tata kelolanya yang dibuat bersama berdasarkan hukum-hukum adat masyarakat. Di Kontu Sulawesi tenggara masyarakat diusir dari arael kawasan hutan lindung karena kawasan tersebut merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah kontu untuk APBD-nya dari kayu-kayu jati yang padahal tinggal sisa-sisa tunggulnya saja, di Leuser dengan Ladia Galaskanya, TNTP dan banyak kasus lainya yang menunjukan carut marut pengelolaan kawasan konservasi namun masih saja pemerintah mendorong Taman Nasional sebagai konsep yang paling cocok digunakan di Indonesia.
Konsep yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah dalam pengeloaan kawasan konservasi selama ini hanya bersifat mengejar besaran jumlah kuantitatif, tanpa diimbangi peningkatan kualitatif, sementara pertimbangan lain berupa ecologis belum menjadi bagian dalam langkah kebijakan politik lingkungan bahkan praktek konservasi tersebut tidak melibatkan partisipasi publik termasuk mengabaikan potensi kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat. Selain masyarakat yang selalu terpingirkan oleh kebijakan yang tidak berpihak disisi lain pemerintah tidak mempunyai political will yang serius dalam hal ini bahkan kawasan konservasi dijadikan objek kebijakan golongan dan kapital untuk dieksploitasi bahkan diterbitkan Perpu No 1/2004 tentang Izin Operasi Tambang di Hutan Lindung celakanya hal tersebut kemudian didukung oleh Peratauran Mentri Kehutanan Nomor: P.14/menhut -II/ 2006 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan yang mengisyaratkan pertambangan bisa dilakukan di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi.
Memperhatikan permasalahan itu seharusnya konsep pengelolaan dan paradigma kebijakan industri konservasi pemerintah perlu diubah menjadi kesadaran ekologis serta sosiologis ''Alam merupakan modal bagi pembangunan berkelanjutan, namun bukan menjadi cadangan bahan eksploitasi kepentingan golongan,''( M.Ridah Saleh, Deputy Walhi Nasional), selanjutnya hajat publik dan masyarakat seharusnya mendapat porsi prioritas karena hal tersebut akan mendorong upaya pelestarian alam yang tidak kontradiksi dengan kepentingan publik, sehingga tidak terjadi konflik vertical dan horizontal ditingkat masyarakat karena pertarungan akses kawasan konservasi ini yang sebenarnya bukan pada masalah legalitasnya.
Tantangan kedepan dalam pengelolaan kawasan konservasi
Pengelolaan kawasan konservasi senantiasa dipengaruhi oleh kekuatan politik dan pertarungan kepentingan antar aktor global, nasional & lokal untuk akes, memanfaatkan & mengontrol sumber alam; bukan semata masalah teknis konservasi dan legalitasnya, Kegagalan memahami tatanan, struktur sosial ekonomi & budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi merupakan faktor pemicu konflik antar aktor termasuk stabilitas & keberlanjutan kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan konservasi yang sesuai dengan kondisi Indonesia perlu mulai digagas dari sekarang dengan memperhatikan kearifan buadaya lokal (Community Based Conservation). Perlu pemahaman yang kontruktif sehingga jargon kolaboratif, partisipatif, atau berbasis komunitas yang sekarang banyak digunakan dapat menyentuh tatanan struktur & kehidupan masyarakat yang sesungguhnya bukan hanya melibatkan semata.
Kawasan konservasi harus dibangun secara kolaboratif dengan masyarakat. Asumsi dasar yang harus dipenuhi oleh semua pihak bahwa pertama Percaya bahwa masyarakat memiliki kesadaran konservasi & dapat diajak untuk melakukan tindakan konservasi kedua, Diperlukan kesabaran, keuletan, konsistensi, dan dialogis dalam mengajak masyarakat dalam membangun kehidupan sosial ekonomi yang sinergis dengan konservasi ketiga, Program-program pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten) yang harus sinergi dengan kebijakan & langkah-langkah konservasi keeempat, kawasan konservasi bukan dipandang dari sudut ekologi semata tetapi perlu terintegrasi dengan sosiologi, budaya dan ekonomi serta keadilan agraria bagi masyarakat.
Saatnya mendorong kearifan lokal beserta kelembagaanya sebagai tuan rumah dalam pengelolaan kawasan yang berwawasan lingkungan dan konservasi menurut makna dan pengertian ditingkat masyarakat lokal dan adat itu sendiri. Tempatkan mekanisme penentuan kawasan lindung secara terintegrasi dimana masyarakat sebagai pemangku kepentingan turut menentukan langkah krusial bagi penyelamatan lingkungan bukan sebagai objek dan penderita semata namun sebagai pemegang kontrol terhadap sumberdaya alam yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
*) - Advocacy and Campaigner Walhi Kalimantan Tengah
Saturday, June 10, 2006
Kawasan Konservasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment