Kriminalsiasi Perjuangan Petani Plasma
PT. Mitra Austral Sejahtera II
(Golden Hope Group)
Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat
Sejarah Perusahaan
Perusahaan perkebunan sawit masuk didaerah bonti dan sekitarnya pada tahun 1995 ha diwilayah kecamatan Parindu, Bonti dan Tayan Hulu Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Awalnya perusahaan ini merupakan perusahahaan lokal dengan nama PT. Ponti Makmur Sejahtera dan mulai memebasakan lahan-lahan masyarakat dengan pola 7,5 dimana masyarakat menyerahkan lahan 7,5 ha untuk perusahaan sebagai lahan untuk membangun perkebunan sawit, dan akan memperoleh lahan plasma seluas 2 ha. Sementra siasanya 5,5 ha diserahan kepihak perusahaan untuk menjadi lahan inti milik perusahaan.
Perusahaan PMS tersebut memperoleh ijin berdasarkan surat ijin lokasi nomor 400-54/IL-99 tanggal 8 Januari 1996 dengan luasan yang dicadangkan seluas 30.000 Ha. Namun setelah dilakuakn survey PT. PMS hanya akan membangun 20.000 Ha sedangkan sisanya yang 10.000 ha diperuntukan sebagai ‘enclave’ bagi masyarakat untuk membangun pemukiman, sawah, tembawang, jalan, infrastruktur, dan fasilitas pendukung lainnya. Pada saat sosialisai konsep yang di tawarkan oleh PMS merupakan skema ‘program resettlement’ (pemukiman baru).
Pada tahun 1998 ketika krisis ekonomi dan finansial terjadi di indonesia, hampir semua sektor goyah dengan kondisi tersebut tidak terkecuali bisnis pekebunan kelapa sawit. Melihat kondisi tersebut sektor-sektor bisnis yang tidak mampu bertahan dengan kondisi krisis tersebut pemerintah mengambil alih atau diambil alih oleh entitas bisnis yang masih kuat secara finansial. Strategi lain yang di tempuh adalah dengan melakukan strategi eksternal dengan mendukung perusahaan kelapa sawit untuk membuat kerjasama bisnis dengan investor domestik dan investor asing. Salah satu kebijakan yang ditempuh tersebut adalah lima perusahaan malaysia menandatangai perjanjian kerja sama dengan perusahaan indonesia termasuk di Kalimantan barat salah satunya yaitu merger yang dilakukan oleh PT. Ponti Makmur Sejahtera dan Austral Enterprises Berhad, Malaysia, yang kemudian namanya menjadi PT. Mitra Austral Sejahtera ( PT. Mas). Lokasi Perkebunan PT MAS didirikan diwilayah yang sudah dipenuhi dengan perkebunan kelapa sawit dan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Perusahaan tersebut berbatasan dengan perusahaan PIR-TRANS dari PTPN XIII di wilayah utara Kecamatan Kembayan, sebagian dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dari PT Finantara Intiga sampai ke wilayah barat, perkebunan kelapa sawit PT Sime Indo Agro di bagian selatan, dan perkebunan PIRTRANS dari PTPN XIII di Kecamatan Parindu sampai ke selatan. Bagian tepi perkebunan PT. MAS berada di sepanjang jalan utama yang menyambungkan antara Pontianak sampai Kuching (Sarawak Malaysia).
Pada tahun 1999 PT.Mas dibeli oleh raksasa perkebunan sawit milik malaysia Golden Hope Bhd yang merupakan salah satu pemrakarsa RSPO (Roundtable Suistanable Palm Oil) sebuah forum untuk mendiskusikan minyak sawit berkelanjutan.
Proses Pembebasan Lahan
Proses pembebasan lahan PT. Mas (saat itu masih PT. PMS) sudah dilakukan sejak tahun 1995 dengan menggunakan sistem penyerahan lahan 7,5 dimana masyarakat harus menyerahakan lahan seluas 7,5 ha sebagai kontribusi untuk pembangunan perkebunan sawit. Konsep tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dan perusahaan secara absolut dimana masyarakat tidak diberikan pilihan lain pada saat melakukan sosilisasi. Pola Penyerahan lahan 7,5 tersebut mengharuskan masyarakat lokal menyerahkan lahan minimal 7,5 ha tanah dan akan memperoleh lahan plasma seluas 2 ha sedangkan sisa lahanya dialokasikan untuk kebun inti dan infrastruktur kebun. Pada saat proses pembebasan lahan masyarakat lokal diberikan ganti rugi lahan dengan istilah ”derasa”. Perusahaan mengangap bahwa ketika masyarakat telah menandatangani kwitansi derasa itu berarti masyarakat telah melepaskan hak atas tanah sepenuhnya kepada pihak perusahaan. Dilain pihak masyarakat adat dayak suku tinying dan Ribun yang mendiami wilayah tersebut mengangap bahwa ”derasa” hanya merupakan pinjam pakai pengunaan lahan bukan pelepasan hak atas tanah. Sebagai kamuflase bahwa perusahaan menghargai adat mereka mengadakan upacara adat ”ngudas” namun tidak memberitahukan kemasyarakat adat. Akibatnya pada tahun 1997 perusahaan terpaksa membayar adat karena menggusur lahan secara paksa dikampung seribot dan terusan.
Desain konsep pembanganunan kebun merupakan ‘program resettlement’ (pemukiman baru) yang syarat-syaratnya yaitu : Para petani harus menyerahkan tanah mereka termasuk wilayah desa, sehingga perkebunan tidak diganggu dengan wilayah yang ditanami dengan jenis tanaman lain; Para petani yang tinggal di wilayah terpisah-pisah harus bersedia untuk dikelompokkan kembali disebuah wilayah resettlement berdasarkan rencana tata ruang dari perusahaan dan pemerintah daerah.
Para petani harus bersedia untuk direlokasi dari kampungnya ke wilayah lain dimana perusahaan ingin membangun pemukiman baru yang dilengkapi fasilitas dan infrastruktur. Setelah menyelesaikan survei, Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabupaten Sanggau memberi ijin lokasi seluas 30,000 hektar. Setelah merjer, survey terinci tetap dilakukan. Meskipun PT. MAS secara formal diberi alokasi tanah seluas 30,000 ha, perusahaan tersebut sebenarnya berencana membangun 20,000 hektar, sisanya seluas 10,000 hektar dialokasikan sebagai ‘enclave’ untuk masyarakat untuk membangun pemukiman, sawah, tembawang, jalan, infrastruktur, dan fasilitas pendukung lainnya.
Hingga saat ini program tersebut tidak pernah terealisasi justru kampung kerunang bermigrasi dengan sendirinya menjadi sebuah perkampungan baru di sepanjang jalan utama yang dibangun oleh PT. Mas.
Persoalan Petani Plasma
Persoalan muncul ketika masyarakat sudah terlanjur menjadi petani plasma, terutama petani plasma PT. Mas II yang tergabung dalam KUD Mayting Hija. Ada beberapa persoalan yang ditemui dalam praktek pola perkebuanan PT. Mas II antara lain adalah :
I. Persoalan Tanah
- Persoalan tanah merupakan persolaan yang paling mendasar atas pembukaan perkebunan sawit oleh PT. MAS dimana masayarakat lokal pada awal pembukaan di berikan satu-satunya pilihan dengan meyerahkan lahan 7,5 Ha untuk mendukung perkebunan sawit sebagai kompensasi untuk menjadi petani plasma dengan memperoleh lahan 2 ha. Biasnya tanah-tanah yang diserahkan seluas 7,5 ha / orang yang di ganti rugi hanya 5,5 ha dengan pembagian masing-masing ;(a) Bawas, lalang Rp. 25.000,- ;(b) Bekas ladang tahun terakhir Rp. 50.000,- ;(c) Kebun karet tidak produktif Rp. 75.000,- ;(d) Kebun karet produktif Rp. 85.000,- ;(e) Tembawang lainnya Rp. 85.000,- dan;(f) Sawah Rp. 85.000,-. Sementara yang 2 ha tidak diberikan ganti rugi. Istilah ganti rugi dimanupulasi oleh pihak perusahaan dan pemerintah dengan bahasa yang simpatik yaitu menggunakan istilah adat ’derasa’ dimana mereka (pihak perusahaan dan pemerintah) menggap bahwa ketika tanah sudah di ganti rugi dan menerima kwitansi derasa maka masyarakat sudah melepaskan hak atas tanah, sementara dipihak masyarakat adat Tinying dan Ribun bahwa derasa adalah bentuk penghormatan atas pengelolaan atas tanam tumbuh yang ada di atas tanah bukan pelepasan hak atas tanah.
- Banyak masyarakat yang kehilangan tanah yaitu mereka yang tidak memilki tanah cukup yaitu 7,5 ha sesuai syarat mutlak yang diberikan perusahaan dan pemerintah untuk mandapatkan 1 Kapling (2 Ha) kebun sawit . Hal ini wajar dimasyarakat dimana distribusi pengusaan lahan yang berbeda dimasyarakat, namun hal tersebut bukan menjadi soal bagi perusahaan lahan –lahan yang kurang tersebut digusur juga dan sang pemilik lahan hanya diberikan ganti rugi ”derasa” sementara kapling sawit tidak di peroleh.
- Setelah kebun plasma ditanam terjadi persoalan baru dimana lahan-lahan plasma dijual kapling-kapling lahanya oleh oknum-oknum kepala desa yang juga selaku satlak pembebesan lahan padahal mereka tidak tidak menyerahkan lahan.
II. Implementasi Koperasi Petani dan perjanjian
- KUD Mayting Hija_ KUD Myting Hija yang didirikan perusahaan bukan merupakan koperasi yang betul–betul menaungi anggotanya sebagaimana prinsip dari koperasi itu sendiri. Perjanjian-perjajian yang dilakukan tidak mengikutsertakan petani anggotanya sebagaiamana perjajian akad kredit dan perjanjian semi manjemen yang banyak merugikan petani. Selain itumanjemen yang tidak sehat mengibatkan lumpuhnya pelayanan bagi anggotanya dan hanya 1 kali melakukan RAT (Rapat Anggota Tahunan) selama proses berjalan.
- Perjanjian Semi Manajemen_ Semi manjemen ini dipotong untuk meningkatkan produktivitas petani melaui perjajian yang sudah habis masa berlakunya sejak juli 2007. Namun potongan masih terus dilakukan oleh perusahaan melaui KUD sebesar 15 % dari akad kredit yang harus ditanggung petani. Komponen yang harus ditanggung dari biaya semi manajemen ini adalah infrastruktur kebun, pupuk dan pestisida. Namun realisasinya jauh dari harapan dimana insatruktur kebun jalan yang rusak dan sangat jauh berbeda dengan infrasruktur kebun inti, pupuk hanya di berikan 2 kali dalam 1 tahun begitu juga pestisida hanya diberikan jauh dari cukup.
- Pemotongan Denda Mutu_ Denda mutu TBS dipotong ke petani padahal hal tersebut merupakan tanggung jawab yang tidak terlepas dari pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan. Pemotongan denda mutu berbeda disetiap lokasi plasma. Mutu TBS berbeda karena setiaap lokasi tingkat kesuburan tanahnya berbeda sementara pupuk dan pestisida yang diterima petani tidak mencukupi padahal mereka juga sudah dipotong biaya untuk peningkatan mutu untuk semi manajemen.
- Manipulasi Harga TBS_ Harga TBS yang diterima petani plasma tidak sesuai dengan harga indeks K yang ditetapkan pemerintah. Harga-harga tersebut dkorting bervariasi oleh pihak Perusahaan melaui KUD Mayting Hija.
- Di lokasi kebun plasma infrastruktur seperti jalan dan jembatan tidak dirawat. Hal ini mengakibatkan lambanya petani mengangkut TBS dan sering tertunda sehingga TBS mutunya menurun dan bahkan sampai rusak ( restan)
- Kebun-kebun petani yang terjena hama sehingga buahnya banyak yang busuk namun tidak pernah diperhartikan oleh perusahaan.
- Prasarana sosial seperti sekolah, sarana ibadah dan sarana air bersih sebagaiaman di janjikan pada saat sosialisasi tidak pernah di wujudkan oleh perusahaan.
Sejak perusahahan PT. Mas masuk di daerah bonti dan sekitarnya, banyak hak-hak masyarakat yang tertindas sehingga mereka mulai mengorganisir diri untuk melakukan perubahan atas kondisi yang tidak menguntungkan bagi mereka. Berbagai upaya mereka lakukan termasuk mengirimkan surat protes yang disampaikan keberbagai pihak yang berkepentingan atas persoalaan mereka. Terakhir petani mengirimkan surat tuntutan yang berisikan 14 tuntutan yang intinya protes terhadap praktek-praktek perusahaan yang tidak adil atas tanah dan pengelolaan plasma yang tidak transparan dan jauh dari kesejahteraan yang dijanjikan perusahaan. Mereka memberikan jangka waktu 1 bulan kepada pihak perusahaan untuk merespon tuntutan mereka sejak tanggal 3 agustus 2007 hingga tanggal 3 September 2007. Namun sangat disayangkan surat tuntutan tersebut tidak di respon oleh pihak perusahaan sehingga petani melakukan aksi ke kantor PT. Mas II pada tanggal 3 September 2007. Dalam aksi tersebut yang terdiri dari 500 petani mendatangi kantor dan sempat menyegel kantor milik PT. Mas II di Seribot. Mereka mendesak perusahaan untuk menanggapi tuntutan yang mereka sampaikan sebelumnya, namun perusahaan berdalih bahwa surat tuntutan petani baru mereka terima 3 hari sebelumnya. Massa baru bubar pada subuh hari (tanggal 4 September) ketika ada kesepakatan melaui surat yang di bacakan oleh Bpk. Fatah Lubis ( senior asisten PT. Mas ) bahwa perusahaan akan menanggapi tuntutan petani dalam jangka waktu 2 minggu. Setelah surat di bacakam petani kemudian kembali ke rumahmasing-masing dan menuggu surat jawaban. Namun sangat disayangkan tanggal 5 september pada malam hari terjadi panangkapan atas 5 orang petani di dusun Kerunang . Pengakapan dilakuakn oleh sepasukan polisi beresnjata lengakap dengan menganakan 2 buah truk dalmas, 2 kijang dan 1 mobil patroli dari Polres Sanggau yang di pimpin langsung oleh Wakapolres Sanggau dan membawa 5 orang petani (Ameng, Rani, Aleng, Andi lapok). Saat penangkapan mereka dilakukan tidak manusiawi dan tanpa surat penangkapan. Salah satu orang yang ditahan (lapok) adalah pemuda yang cacat fisik dan yatim piatu yang tidak tahu tentang persoalan diciduk dan dipukuli saat ditangkap. Dia sempat pingsan di mobil truk polisi waktu dalam perjalanan menuju polres Sanggau. Ironisnya penangkapan terjadi pada saat petani sedang melakukan prosesi upacara adat bahanyu (pemulihan seseorang akibat trauma) yang dilakukan masyarakat dusun kampuh dan kerunang. Tidak berhenti disitu pada keesokharinya pada tanggal 6 september, rumah-rumah masyarakat di dusun kerunang di geledah oleh kepolisian Polres Sanggau tanpa ada pemberitahuan terhadap pemilik rumah. Hal ini membuat masyarakat desa Kerunanag ketakutan dan bersembunyi di hutan. Semua prilaku kepolisian dilakukan atas dasar surat laporan dari perusahaan PT. Mas II melaui Bpk. Fatah Lubis (senior Assten PT. Mas ) yang manyatakan bahwa petani telah melakukan pengrusakan barang milik perusahaan. Akibat dari kriminalisasi tersebut 5 orang petani (salah satunya langsung di bebaskan pada tanggal 7 september) mendekam ditahanan dan menunggu proses persidangan.
Hal ini merupakan contoh-contoh proses adu domba dan pembelokan atas proses-proses perjuangan yang dilakukan petani dimana ketika petani menuntut hak-haknya selalu dibenturkan dengan fakta pidana sehingga tuntutan yang sebenarnya di hilangkan dengan cara mengkriminalisasi perjuangan petani.
Kesimpulan
Sistem perkebuana kepala sawit yang diterapkan saat ini masih sangat jauh dari harapan untuk kesejahteraan petani karena di mana masih ada saja praktek-paktek penghisapan bagi petani. Misalkan penghisapan yang dilakukan perusahahan terhadap petani PT. Mas II antara lain :
Penutup
- Pada saat masuk PT. Mas II tidak menyampaika persoalan-persoalan mendasar tentang perkebunan sawit dan hanya memberikan satu pilihan mutlak yaitu menerpkan sistem yang ditawarkan perusahaan dengan sistem plasma dan penyerahan lahan dengan pola 7,5. Hal ini mempengaruhi proses sehingga menyimpan persoalan-persoalan di yang muncul dikemudian hari.
- Pihak PT. Mas menggunakan istilah adat derasa yang sebenarnya bukan pelepasan hak atas tanah. Karena hingga saat ini masyarakat tetap mengangap tanah-tanah yang sudah di ganti rugi masih tetap milik mereka karena tidak pernah melepaskan hak atas tanah mereka.
- Dalam melakukan pembebasan lahan PT. Mas menggunakan satlak yang terdiri dari pengurus-pengurus kampung dengan upah dari perusahaan. Hal ini memicu konflik dimasyarakat dimana seharusnya pengurus kampung mengayomi anggota masyarakatnya bukan justru berkonflik dengan masyarakatnya sendiri.
- Banyak janji-janji yang disampaikan oleh pihak perusahaan baik melaui lisan maupun tertulis. Janji-janji tersebut tidak direalisasikan sehingga memicu petani untuk tetap menuntut janji-janji tersebut.
- Praktek pemotongan kredit dan semi manajemen yang tidak transparan yang dilakukan perusahahan melaui KUD Mayting Hija sangat merugikan petani. Semua perjanjian mengatasnamakan petani padahal belum tentu petani sepakat dengan keputusan KUD dan pengurus-pengurusnya.
- Perusahaan tidak menghargai adat istiadat setempat dimana setiap persoalan tidak malaui jalur hukum adat yang selama ini sudah dianut oleh suku dayak sekitar (Tinying, Hibun, Mayau). Setiap persoalan kemudian langsung ditindak dengan hukum pidana dengan mendatangkan pihak kepolisian sehingga melukai masyarakat adat yang masih meyakini hukum adat mereka.
- Seharusnya dalam menyikapi tuntutan petani dilakukan secara dialog dan negosiasi yang setara tanpa ada rasa curiga terhadap perjuangan petani. Bukan sebaliknya mengacuhkan tuntutan dan mengkriminalisasi pihak petani.
Penutup
Persoalan yang terungkap di PT. Mitra Austral Sejahtera merupakan sedikit dari berbagai macam persoalan yang ada dalam perkebunan sawit. Sangat disayangkan persoalan-persoalan tersebut selalu diselasaikan tanpa melihat akar permasalahan yang ada. Penanganan yang dilakukan selalu parsial dan dilakukan dengan pendekatan hukum formal (kriminalisasi). Di kemudian hari apabila tidak di tangani dengan serius semua persoalan ini akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan merugikan semu pihak. Dengan memberikan kebun plasma bagi petani bukan berarti persoalan selesai dimana seolah-olah masyarakat telah terakomodir. Proses-proses yang tidak benar dari awal masuknya sawit hingga masa produksi berjalan justru akan menjadi persoalan yang menumpuk. Penindasan yang selama ini dialami oleh petani akan menjadi titik tolak perjuangan apapun bentuknya. Perjugan petani dilakukan atas dasar hak atas tanah dan pengelolaan sumberdaya yang tidak adil bagi mereka. Penguanaan praktek intimidasi dan kriminalisasi serta adu domba justru akan mempersolid gerakan petani karena petani akan cenderung resist terhadap praktek-praktek tersebut. Penaganan dengan cara persuasif dan simpati justru akan menjauhkan segala kecurigaan antara semua pihak sehingga keadilan yang demokratis bisa diperoleh melaui negosiasi yang mendudukan semua pihak dalam posisi setara dan seimbang serta partsispatif.
No comments:
Post a Comment