Monday, February 12, 2007

Menguasai Wilayah Kelola dengan Nilam

Menguasai Wilayah Kelola dengan Nilam

Oleh: Arie Rompas Advokasi dan Kampanye Walhi Kalteng

Budidaya nilam di Sembuluh, Kalimantan Tengah, sebagai alat untuk mempertegas kawasan kelola rakyat.

Danau Sembuluh, di Kalimantan Tengah, mempunyai luas sekitar 80 km2. Dia merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar dan kecil seperti Kupang, Rungau, dan Ramania. Di sekitar danau yang luasnya mencapai 2.424 km2 ini terdapat beberapa desa, yaitu Sembuluh I, Sembuluh II, Bangkal dan Terawan.

Kawasan ini termasuk daerah terpencil. Dari Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah, orang harus berkendaraan darat sejauh 240 km menuju Sampit, dan dari Sampit menuju Desa Bangkal sejauh 80 km. Dari Desa Bangkal, Danau Sembuluh bisa dicapai dengan kapal motor sekitar 20 menit.

Masyarakat Sembuluh masih kuat memegang adat. Peran tokoh, ulama atau tetuha kampung untuk menyelesaikan permasalahan masih besar.

Secara ekonomi, warga Sembuluh banyak bergantung dari sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Awalnya banyak mencari nafkah dengan membuat kapal kapal yang dipesan bahkan dari Jawa. Kapal yang sudah jadi dikirim lewat Sungai Seruyan menuju muara Kuala Pembuang, di pantai selatan Kalimantan. Namun, seiring makin langkanya kayu, terutama kayu ulin yang merupakan bahan baku utama dalam pembutan kapal, keahlian ini sudah mulai punah seiring dengan punahnya hutan di sekitar danau dan kawasan Sembuluh.

Selain menjadi pembuat kapal, sebagian warga lain menjadi nelayan pencari ikan dan peladang. Namun sejak masuknya investasi perkebunan besar kelapa sawit pada 1994, wilayah tempat mereka berladang dan berburu serta tanah-tanah adat milik masyarakat Sembuluh mulai terdesak. Kayu-kayu ulin sebagai bahan baku mulai habis karena dibabat oleh perkebunan sawit. Ladang-ladang milik masyarakat digusur tanpa ganti rugi dengan intimidasi oleh pihak aparat. Hingga kini ada lima perkebunan besar yang mengelilingi dan mengepung kawasan itu yaitu Agro Indomas (12.104 ha), Salonok Ladang Mas (12.750 ha), Kerry Sawit Indonesia (19.202 ha) Sawit Mas Nugraha Perdana (12.750 ha), dan Rungau Alam Subur (6.725 ha).

Dalam memafaatkan sumberdaya alam, masyarakat memiliki kearifan–kearifan lokal yang sudah diterapkan secara turun temurun. Terutama dalam berladang atau behuma (berladang gilir balik) yang merupakan aktivitas kebanyakan penduduk di Kalimantan. Kegiatan berladang ini masih mengikuti ritual adat yang sesuai dengan semangat pelestarian alam.

Di samping bertani dan berladang, masyarakat Sembuluh juga secara turun-temurun mencari ikan di Danau Sembuluh, yang merupakan danau terbesar di Kalimantan Tengah. Mereka pun menggunakan alat-alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan: rengge, tamba, tampirai, bubu (lukah), takalak, lunta, kalang, pancing, dan rempa.

Masyarakat juga sering berburu di hutan sekitar Sembuluh. Daging buruan menjadi makanan tambahan atau dijual. Jenis hewan buruan yang terdapat di sana adalah rusa, kijang, dan pelanduk. Karena sebagian besar masyarakat Sembuluh adalah muslim, babi tidak mereka buru. Babi hanya di buru oleh masyarakar desa lain yaitu Desa Bangkal.

Dalam berburu masyarakat memiliki teknik dan pengetahuan yang luas mengenai kondisi alam dan pengetahuan tentang pola tingkah laku hewan buruan. Selain berburu hewan liar, mereka juga menggunakan perangkap untuk menangkap berbagai jenis hewan liar. Alat tangkap tradisional itu telah diajarkan dan diwariskan secara turun temurun seperti jarat, ringkap, jaring dan mangandang.

Namun, lahan untuk berladang dan berburu kian sempit. Hadirnya perkebunan kelapa sawit juga telah menyebabkan munculnya hama belalang yang menyerang tanaman penduduk. Hal ini membuat penduduk tidak suka lagi berladang, dan menyebabkan mereka sulit untuk mengklaim wilayah kelola mereka yang sudah turun-temurun mereka manfaatkan.

Munculnya perkebunan sawit memunculkan sengketa kepemilihan lahan di kalangan masyarakat.

Masyarakat Sembuluh sejak dahulu tidak mengenal adanya surat kepemilikan lahan atau pengakuan dari negara. Di dalam masyarakat, suatu kepemilikan lahan hanya ditandai dengan adanya kebun buah-buahan yang dahulunya merupakan bekas berladang.
Lokasi bekas ladang yang produktif dan dijadikan kebun dipelihara dengan baik. Sedangkan apabila bekas ladang tersebut tidak dikelola atau dijadikan kebun atau dibiarkan menjadi hutan, maka semua orang boleh memanfaatkan lokasi tersebut secara bersama.

Saat ini pola-pola kepemilikan tradisional itu sudah hampir hilang seiring dengan adanya perkebunan kelapa sawit. Masyarakat juga saling mengklaim tentang siapa yang pertama kali membuka untuk berladang atau berkebun, agar lahannya bisa dijual ke perkebunan. Perpecahan mereka juga mengarah kepada mendukung atau menolak kehadiran perkebunan. Perpecahan ini mudah dimaanfaatkan oleh perkebunan, yang berkahir dengan kerugian masyarakat sendiri.

Lahan kelola masyarakat juga kian terdesak oleh adanya propaganda pemerintah yang menyudutkan masyarakat. Pemerintah mengatakan lahan-lahan kritis yang ada di sekitar danau tidak dimanfaatkan sehingga sebaiknya diberikan ijin dan HGU untuk perkebunan sawit. Padahal sesunguhnya kawasan tersebut bukan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat, tetapi kawasan tersebut merupakan bekas ladang berpindah masyarakat yang akan dimanfaatkan kemudian hari hal tersebut di tandai dengan tumbuhan dan bekas rumah yang ditinggalkan.

Menanggapi propaganda masyarakat harus menunjukkan bahwa lahan-lahan kritis tersebut mampu dimanfaatkan dengan menanam tumbuhan-tumbuhan produktif dan bermanfaat secara ekonomis.
Konflik yang muncul akibat masuknya perkebunan sawit menyadarkan masyarakat bahwa perkebunan sawit tidak banyak memberikan manfaat terhadap masyarakat Sembuluh. Berangkat dari kesadaran tersebut masyarakat mulai mengorganisir diri untuk melakuakan upaya-upaya dalam menutut hak atas pengelolaan sumberdaya alamnya terutama hutan-hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Dalam menuntut haknya masayarakat dengan dibantu oleh Yayasan Tahanjung Tarung dan Walhi Kalimantan Tengah. Untuk memerperkuat posisi rakyat kemudian Walhi membantu pembentukan Organisasi Rakyat Komunitas Pengelola Kawasan (KOMPAK) Sembuluh.

Pada 2002, Walhi Kalteng mulai menyadarkan masyarakat akan ancaman yang mereka hadapi dan membantu mereka merumuskan langkah untuk menghadapinya. Walhi juga membantu masyarakat membentuk kelompok pengelola kawasan bernama Kompak Sembuluh. Pada 2005, bersama Sawit Watch, Walhi membuat program Reforestasi dan pemanfaatan Lahan Kritis untuk mempertegas kawasan kelola rakyat di Sembuluh. Program ini bertujuan memberikan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk menguasai lahan serta untuk mencegah ekspansi perkebunan sawit. Salah satu cara untuk menguasai lahan adalah dengan menanam tanaman budidaya yang memiliki nilai ekonomi memadai.

Para petani Kompak Sembuluh memilih tanaman nilam, karet serta buah-buahan untuk bisa ditanam di wilayah kelola mereka. Nilam lebih dipilih ketimbang karet karena umurnya jauh lebih pendek, bisa dipanen setelah enam bulan ditanam.

Minyak nilam (patchouly oil) merupakan salah satu minyak atsiri yang banyak diperlukan untuk bahan industri parfum dan kosmetik melalui proses penyulingan daun tanaman nilam (pogestemon patchouly). Bahkan minyak nilam dapat pula dibuat menjadi minyak rambut dan saus tembakau. Menurut Soeprapto M. Sadjito, Wakil Direktur International Flavors & Fragrances – Far East, sebuah perusahaan importir minyak asiri, dunia membutuhkan minyak nilam sebanyak 200-250 ton per tahun dengan peningkatan sekitar 5% per tahun. Ini merupakan peluang besar, namun sayang belum banyak dibudidayakan.

Minyak atsiri nilam di pasaran internasional cukup menjanjikan. Saat ini Indonesia rata-rata memasok ke pasar internasional sekitar 1.000 ton per tahun, sekitar 70%-nya berasal dari Sumatera dan sisanya dipasok dari Jawa dan Kalimantan.

Menurut Direktur PT. Indaro Utama yang setiap tahunnya mengekspor 20-30 ton minyak nilam, kebutuhan akan minyak nilam dunia itu hampir tanpa batas. Namun, mutu minyak nilam dari Indonesia umumnya masih rendah. Kualitas minyak nilam lokal masih rendah sehingga industri Indonesia sendiri bahkan harus mendatangkannya dari luar.

Minyak atsiri Indonesia dieskpor terutama ke Amerika Serikat, Jerman Barat, Belanda, Prancis, Inggris, Swiss, India dan Pakistan. Minyak nilam Indonesia ini bersaing minyak nilam RRC.

Meski pasarnya baik, harga minyak nilam bmerosot dalam beberapat tahun terakhir. Kini hanya sekitar Rp 135.000 per kg, setelah sebelumnya sempat mencapai Rp 750.000 per kg.

Secara umum tanaman nilam dapat dibudidayakan dari dataran rendah hingga tinggi sampai ketinggian 2.200 m di atas permukaan laut. Namun, agar menghasilkan rendemen minyak tinggi sebaiknya nilam ditanam pada ketinggian 10-500 m dari permukaan laut.

Pengolahan lahan nilam dapat dimulai satu-dua bulan sebelum ditanam dengan pencangkulan tanah sedalam 30 cm. Pencangkulan bertujuan mendapatkan kondisi tanah yang gembur dan rendah, serta membersihkan tumbuhan pengganggu (gulma). Setelah tanah dicangkul, bedengan-bedengan dibuat untuk ditanami nilam. Ukuran bedengan tinggi 20-30 cm, lebar 1-1,5 meter dan panjang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Jarak antar bedengan berkisar antara 40-50 cm untuk memudahkan perawatan. Tanah bedengan dibiarkan seminggu dan kemudian dicangkul untuk meremahkan tanah yang sekaligus dapat dilakukan pemberian pupuk organik (pupuk kandang) yang sudah dimatangkan.

Di samping umurnya pendek, nilam mudah ditanam, sehingga petani bisa mandiri melakukannya, dan tidak membutuhkan lahan yang luas sehingga tidak memakan ruang dan merusak hutan.

Kini program tersebut telah berumur satu tahun setengah. Ada beberapa manfaat yang diterima masyarakat. Program ini telah mendorong perubahan kebijakan pemerintah atas model pengelolaan lahan masyarakat yang selama ini diklaim sebagai lahan tidur. Penghutanan kembali melalui penanaman tanaman produktif juga menghasilkan alternatif pendapatan baru yang dapat membantu ekonomi masyarakat. Secara ekologis dan upaya penyelamatan lingkungan, progam ini mengurangi beban danau dan hutan dari ancaman kerusakan.

Program ini dilakukan secara partisipatif. Anggota masyarakat sendirilah yang langsung memilih calon penerima program. Penerima program ini sekitar 80 orang, tetapi yang mengikuti program khusus nilam hanya 43 orang. Masing-masing petani nilam menyumbangkan lahannya seluas hektar. Artinya ada 21, 5 ha lahan masyarakat yang dijadikan kebun nilam.

Selama proses berjalan juga ada beberapa capaian. Capain terpenting, masyarakat kini bisa mengklaim wilayah kelola seluas total 120 hektar, meliputi kebun nilam, buah-buahan dan lahan reforestrasi.

Proses partisipatif juga mendorong kebersamaan masyarakat dan semangat gotong royong. Keterlibatan masyarakat juga tidak sebatas pada orang penerima program saja, tapi semua keluarga dilibatkan dalam proses ini, termasuk perempuan dan anak-anak.

Selain bertanam nilam, masyarakat yang mengikuti program reforestasi yang berjumlah 80 orang dengan menyediakan lahan seluas 2 ha untuk masing-masing kepala keluarga atau secara total mencapai 160 ha.

Khusus untuk reforestasi ada kesepakan bahwa pihak Walhi menyumbangkan bibit unggul (karet dan durian) sedangkan masyarakat harus menyediakan bibit lokal secara swadaya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dengan sukarela mendukung program dengan kesadaran dan kerelaan dan antusias yang tinggi.

Sementara di tingkat penentu kebijakan, Pemerintah Daerah Kabupaten Seruyan ternyata mulai mendukung program ini dengan menyediakan satu mesin suling nilam.

Dari segi ekonomi, masyarakat Sembuluh memperoleh tambahan pendapatan dan mampu mengembangkan usaha ekonomi lokal. Hasil reforestasi dengan tanaman produktif akan dinikmati dalam jangka panjang sedangkan perkebunan nilam sudah akan dapat dipetik hasilnya dalam jangka pendek.

Sementara dari segi lingkungan, reforestasi memberikan kawasan-kawasan penyangga di sekitar Danau Sembuluh, untuk mencegah kerusakan danau, yang juga merupakan sumber ikan bagi masyarakat.

Namun di balik cerita-cerita sukses diatas banyak kendala-kandala yang dihadapi oleh masyarakat yaitu terutama dalam melakukan budidaya nilam. Masyarakat sendiri belum tahu bagaimana menanam nilam yang baik, bagaimana mengahadapi hama dan penyakit. Selain itu ada sebagaian masyarakat yang masih berpikiran praktis dan ingin cepat menghasilkan tanpa melaui proses, sehingga ada beberapa kebun yang ditinggalkan begitu saja tanpa dirawat dan banyak yang mati dan terkena virus.

Bagaimanapun, program ini telah bisa membuahkan hasil terpenting: klaim atas wilayah kelola.***

No comments: