Sunday, July 20, 2008

Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia

Wahyu Susilo

Hari ini, (9/11/2006), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis.

Laporan itu selalu menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu indikator kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama satu dekade, Indonesia berada pada tier medium human development peringkat ke-110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.

Posisi Indonesia anjlok

Tampaknya posisi Indonesia tahun ini tidak berubah, bahkan dikhawatirkan kian anjlok. Indikator kemerosotan ini terlihat saat terjadi peningkatan angka kemiskinan dari 15,97 persen (Februari 2005) menjadi 17,75 persen (Maret 2006). Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian Millennium Development Goal Asia Pacific yang diluncurkan 16 Oktober 2006 oleh ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan berjudul The Millennium Development Goal, Progress Report in Asia and the Pacific 2006, Indonesia ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.

Ancaman kegagalan disebabkan kecilnya alokasi pembelanjaan produk domestik bruto untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Ini membuat Indonesia gagal menyehatkan anak-anak balita. Jumlah anak balita dengan berat badan di bawah normal meningkat, Indonesia juga dinilai stagnan, cenderung gagal meningkatkan proporsi anak sekolah masuk kelas I SD dan bertahan bersekolah pada kelas V.

Realitas itu sangat kontras dengan klaim keberhasilan pemerintahan SBY-Kalla seperti dituangkan dalam Laporan Kinerja Dua Tahun Pemerintahan SBY-Kalla: Berjuang Membangun Kembali Indonesia, diterbitkan Bappenas Oktober 2006.

Air bersih

Mengacu tajuk HDR 2006 yang berfokus pada akses rakyat terhadap air, akan ditemukan konteksnya di Indonesia. Berkali-kali diingatkan, masih banyak rakyat Indonesia terjauhkan aksesnya dari air bersih. Berdasarkan data Susenas tahun 2002, dari 29 provinsi di Indonesia, hanya ada sembilan provinsi yang ada di atas angka rata-rata Indonesia untuk akses air bersih. Artinya, kesenjangan masih tinggi.

Dalam terminologi sanitasi, yang dikatakan air bersih di Indonesia adalah clean water (bersih, tetapi harus dimasak untuk bisa diminum) bukan safe water (layak minum tanpa dimasak). Artinya, jika menggunakan kategori safe water, Indonesia masih jauh ketinggalan.

Situasi itu mendorong beberapa donor multilateral dan bilateral mendesak Indonesia memiliki regulasi tentang sumber daya air. Namun, agenda utama mereka bukan mendekatkan rakyat miskin pada akses terhadap air bersih, tetapi jaminan legal bagi investasi pengelolaan sumber daya air. Bagi donor multilateral dan bilateral, penyertaan investasi sektor swasta adalah mutlak untuk pengelolaan sumber daya air. Ideologi inilah yang menjiwai UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Sementara dalam perspektif pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya, negara bertanggung jawab untuk penyediaan dan pengelolaan sumber daya air sebagai pelayanan publik. Dikhawatirkan, jika ada regulasi yang membuka ruang keterlibatan sektor privat untuk pengelolaan air, mandat pelayanan publik akan tersingkirkan.

Studi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menunjukkan, praktik privatisasi PDAM di Jakarta dan Batam terbukti gagal memberikan pelayanan lebih baik dalam penyediaan air bersih. Di Jakarta, tarif air kian mahal, tetapi kucuran air makin kecil dan keruh. Di Batam, sektor industri lebih menikmati kucuran air PDAM ketimbang rakyat miskin.

Krisis ini bisa diatasi jika pemerintah memiliki political will untuk pengelolaan sumber daya air. Kebijakan itu adalah komitmen untuk mengalokasikan anggaran (dari APBN) guna penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur sumber daya air. Jika pemerintah tetap berharap ada investor mau menyediakan infrastruktur sumber daya air, jangan harap air akan mengucur ke rakyat miskin secara murah.

Harus diakui, tidak ada hal signifikan yang dilakukan pemerintah untuk peningkatan human development di Indonesia. Ini jelas ditunjukkan dalam alokasi APBN kita yang pelit bagi rakyat miskin, royal untuk birokrasi, dan boros membayar utang. Rendahnya peringkat human development sering bukan dijadikan cermin untuk bangun, tetapi selalu direspons secara reaksioner dengan menyatakan bahwa Indonesia punya indikator sendiri.

Wahyu Susilo Project Officer MDGs di International NGO Forum on Indonesia Development (INFID)

Artikel ini sebelumnya dimuat di harian Kompas, 9 Nop. 2005.

Impor Beras Bukan Jawaban

Impor Beras Bukan Jawaban

Martin Manurung

Laporan tengah tahun Bank Dunia untuk wilayah Asia Pasifik yang bertajuk “Managing Through a Global Downturn” (Pengelolaan Ditengah Penurunan Global), menuai kontroversi dan kritik tajam. Secara khusus, bagian yang dinilai kontroversial adalah pada seksi analisis lembaga itu terhadap peningkatan kemiskinan di Indonesia pada 2006.

Pokok penilaian Bank Dunia, peningkatan angka kemiskinan dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada Maret 2006 bukan disebabkan oleh kenaikan tajam harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 114 persen di bulan Oktober 2005. Menurut lembaga keuangan internasional itu, kendati kenaikan harga BBM berpengaruh bagi masyarakat marjinal, jumlah mereka yang terjerembab di bawah garis kemiskinan “hanya” sekitar 5 persen. Hal itu pun, menurut Bank Dunia, telah dapat diatasi dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang ditujukan bagi sekitar 30 persen populasi Indonesia, atau sekitar 19,2 juta keluarga miskin dan hampir miskin (poor dan near poor households).

Bertentangan dengan pendapat umum yang menilai bahwa kenaikan harga BBM telah menyebabkan lonjakan angka penduduk miskin, Bank Dunia justru berpendapat bahwa kenaikan harga beras sebesar 33 persen pada periode Februari 2005 – Maret 2006 justru menjadi biang keladinya. Kenaikan harga ini, menurut lembaga anggota Bretton Woods Institutions itu, disebabkan oleh larangan impor beras.

Bank Dunia memakai asumsi yang sederhana dalam analisisnya itu. Menurutnya, porsi pengeluaran keluarga miskin untuk beras mencakup seperempat atau 25 persen dari total pengeluaran. Sementara itu, tiga-perempat dari penduduk Indonesia adalah konsumen bersih (net consumer) dari beras. Artinya, penduduk Indonesia lebih banyak yang membeli daripada memproduksi beras. Sehingga, kenaikan harga beras akan menyebabkan naiknya porsi pengeluaran keluarga miskin dan hal itu, menurut estimasi Bank Dunia, membuat 3,1 juta orang “didorong” masuk ke bawah garis kemiskinan.

Tentu saja, analisis dengan asumsi yang simplistis itu segera menuai kritik. Konsekuensi dari analisis itu tak lain adalah rekomendasi agar pemerintah segera membuka lebar kembali keran impor beras demi menekan laju angka kemiskinan. Padahal, selain pemerintah terikat dengan komitmen untuk mencapai swasembada dan kedaulatan pangan, tentu rupa dan analisis kemiskinan tidak lah sesederhana “resep” Bank Dunia tersebut.

Misalnya, segera mengemuka pertanyaan kritis; apakah yang menjadi penyebab meningkatnya harga beras? Benarkah ia sedemikian signifikannya terhadap laju angka kemiskinan? Sementara pertanyaan terakhir membutuhkan analisis dan studi yang lebih mendalam dan akurat, pertanyaan pertama sesungguhnya dapat segera diraba jawabnya.

Dalam logika teori ekonomi, impor adalah jawaban dari kurangnya produksi domestik secara relatif terhadap permintaan. Sehingga, untuk menjawab permintaan yang berlebih tersebut (excess demand), maka kekurangan produksi nasional dipenuhi oleh impor. Namun demikian, benarkah tingginya harga beras disebabkan semata-mata oleh kekurangan produksi nasional? Padahal, berkali-kali Perum BULOG dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa produksi beras nasional berada pada tingkat yang cukup untuk memenuhi permintaan domestik, bahkan cukup pula menjadi stok untuk jangka waktu beberapa bulan. Lalu dimanakah letak masalahnya?

Problema utama perberasan nasional terletak pada struktur pasarnya yang dipadati oleh para pemburu rente. Para pedagang antara (middle traders, atau dapat disebut “calo”) yang berada diantara petani produsen dan konsumen akhir (end consumers) telah jamak diketahui menjadi penikmat dari kesenjangan (gap) harga beli dan harga jual beras. Mereka itulah para pemburu rente ekonomi yang jumlahnya tak banyak, akan tetapi memiliki jaringan mafia yang kuat dan melibatkan berbagai pihak berpengaruh. Mereka lah yang selama ini mengatur distribusi beras nasional, sehingga kendati produksi beras nasional dikatakan cukup, namun ternyata terjadi kelangkaan di pasar.

Impor beras tentu menjadi “solusi” yang gampang bagi masalah ini. Dengan impor, maka kuantitas beras yang membanjiri pasar dapat menekan harga. Namun, seperti layaknya berbagai jalan pintas yang bagaikan “obat penghilang rasa sakit” semata, ia tak menjawab persoalan sesungguhnya. Persoalannya, selama persoalan inefisiensi dan pemburuan rente di pasar beras belum dibereskan, maka masalah harga beras tetap akan lestari dan selama itu pula kita akan terus menerus “diharuskan” untuk mengimpor. Akibatnya, akan terjadi disinsentif yang semakin besar bagi produsen, dan produksi beras akan semakin turun. Bila hal itu dilakukan, dapatlah kita segera mengucapkan selamat tinggal bagi komitmen Indonesia untuk swasembada dan kedaulatan pangan.

Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang diuntungkan dengan impor beras itu? Mungkin jawaban Bank Dunia adalah konsumen beras di Indonesia yang dapat memperoleh harga lebih murah. Sayangnya, jawaban itu pun adalah jawaban yang simplistis. Yang diuntungkan adalah para pedagang antara di pasar beras internasional, serta industri-industri raksasa pertanian di negara-negara maju, seperti Monsanto.

Hakikatnya menjadi ironis. Alih-alih menurunkan kemiskinan, impor beras hanya akan memindahkan rente ekonomi dari pemburu rente lokal kepada pemburu rente internasional dan korporasi agrikultur internasional. Sungguh menyedihkan bila pemerintah kita membeo pada rekomendasi Bank Dunia tersebut.

Siapa Sih Lawan Kita ?

Siapa Sih Lawan Kita?

I Wibowo

SERATUS tahun yang lalu, jelas siapa lawan kita. Penjajah Belanda. Lahirnya Boedi Oetomo dimaksud untuk melawan penjajahan itu, demikian juga berdirinya Partai Nasionalis Indonesia ataupun Partai Komunis Indonesia. Para pemuda pada waktu itu punya cita-cita bersama, ingin memerdekakan diri dari penjajah.

Ketika Jepang masuk Indonesia, cita-cita itu tidaklah surut. Walaupun dibuat tidak berkutik, semua orang melihat dengan jelas bahwa setelah Belanda terusir, Jepang-lah sasaran berikutnya.

Setelah Indonesia merdeka, Soekarno dan Hatta memasuki tahap lain. Seperti yang dialami oleh semua pemimpin negara baru di bagian lain dunia, mereka memerlukan sasaran tembak. Sebagian negara melihat lawan mereka berikutnya adalah para kapitalis, dan sebagian lain para komunis. Dunia terpecah menjadi kubu kapitalis dan kubu sosialis, dan ”struktur internasional” memaksa negara-negara untuk berpihak.

Indonesia dan beberapa negara lain memang mengumumkan netralitas, tetapi tetap saja Indonesia tidak beranjak dari satu kubu. Meskipun menggariskan kebijakan ”politik bebas dan aktif”, Indonesia selalu ada di sekitar (tidak di dalam) kubu kapitalis. Sistem ekonomi Indonesia sejak awal menganut pasar bebas atas dasar hak milik pribadi. Kekecualian ada pada saat Soekarno mendirikan Conefo dengan ekonomi ”berdikari” alias berdiri di atas kaki sendiri.

Selalu menolak mengakui

Ini semakin jelas pada masa Orde Baru (1965), ketika rezim Soeharto dengan terang-terangan merumuskan lawannya adalah ”kaum komunis”. Dengan pedoman perjuangan semacam ini, Indonesia memang tidak mengatakan bahwa Indonesia prokapitalis, bahkan Soeharto berusaha membela ”kesaktian” Pancasila (dengan sila tentang keadilan sosial). Namun, dalam praktik, Indonesia sudah masuk dalam kubu kapitalis ketika mengundang lembaga-lembaga internasional versi kubu kapitalis (IMF dan Bank Dunia) dan investor global (istilah kita: PMA) ke dalam lingkungan Indonesia.

Indonesia didukung oleh negara-negara kubu kapitalis sehingga didirikan IGGI untuk mendapatkan utang lunak. Kecuali itu, banyak grant dari aneka yayasan di negara-negara kapitalis mengalir ke Indonesia agar para mahasiswa dapat belajar ilmu yang berhaluan kapitalis (terutama ilmu ekonomi). Struktur internasional pada waktu itu memang menggiring Indonesia tidak bisa tidak berpihak kepada kubu kapitalis, walaupun selalu menolak untuk mengakui demikian.

Invasi ke Timor Timur yang dilakukan untuk mengantisipasi perebutan kekuasaan oleh partai berideologi komunis merupakan bentuk kesetiaan Indonesia tak langsung kepada kubu kapitalis. Diplomasi Indonesia pada umumnya tidak jauh-jauh dari yang dikehendaki oleh kubu kapitalis. Berdirinya ASEAN pada 1967 jelas dirancang untuk menangkal menyebarnya ideologi komunisme. Dalam hal perdagangan internasional, Indonesia tidak pernah masuk dalam lingkaran kubus sosialis dengan COMECON, tetapi sejak awal masuk dalam GATT yang didirikan oleh kubu kapitalis.

Dunia tanpa musuh

Sesudah berakhirnya Perang Dingin pada 1991, struktur internasional mengalami perubahan drastis. Ketika Francis Fukuyama mengumumkan the end of history, pada dasarnya dia mau mengatakan bahwa dunia ini sekarang tidak ada musuh karena semua sudah memasuki satu kubu yang sama, yaitu free-market democracy. Jadi, tidak ada lagi yang harus dilawan.

Negara-negara pemenang langsung berbicara tentang peace dividend kepada dunia. Wartawan New York Times, Thomas Friedman, langsung mengatakan bahwa semua negara di dunia yang ditandai oleh Golden Arches alias restoran hamburger McDonald’s tidak akan berperang satu sama lain. Terjadilah globalisasi ekonomi, dan tesis doux commerce pun dipercaya di mana-mana.

Indonesia juga setuju dengan semua itu, tetapi tetap merumuskannya dalam bentuk ”anti-komunisme” (Tap MPRS No 25 masih belum dihapus). Dua kata ini mampu menyelamatkan Orde Baru dan orde-orde lain sesudahnya. Jangan pernah mengatakan ”prokapitalisme” sebab hal ini akan menimbulkan aib. Dengan memakai kata antikomunisme, dua keuntungan diraup sekaligus: tetap terbuka kepada investor global dan tidak menimbulkan kegoncangan pada agama. Namun, satu hal yang tidak berubah, yaitu bahwa Indonesia tetap ada di kubu kapitalisme dan tidak mempunyai lawan. ”Kaum komunis” telah hilang, sementara orang kapitalis tidak pernah dinyatakan sebagai musuh.

Keadaan inilah yang saat ini membuat Indonesia bingung. Siapa lawan kita? Kebangkitan Nasional mempunyai lawan yang jelas, kita sekarang tidak mempunyai lawan jelas sehingga adrenalin kita tidak pernah dinaikkan. Sangat menarik, meskipun Indonesia bicara tentang reformasi sejak runtuhnya Orde Baru, Indonesia malah semakin dalam terjebak dalam agenda kapitalisme global, yaitu program penyesuaian struktural (SAP) yang menuntut privatisasi perusahaan milik negara, perdagangan bebas, dan pemotongan subsidi, terutama kesehatan, pendidikan, dan pertanian. Kapitalisme tak pernah dikatakan sebagai musuh Indonesia.

Tanpa lawan yang jelas, Indonesia tidak akan pernah mengalami ”kebangkitan nasional”. Orang memang bisa mengatakan bahwa kita sekarang melawan kemiskinan dan kebodohan atau melawan korupsi. Namun, kalau ditanya siapa itu kemiskinan atau siapa itu korupsi, orang menjadi gelagapan.

Naomi Klein dalam bukunya, Shock Doctrine (2007), mengatakan bahwa pada masa sekarang lawan semua negara dan semua warga negara adalah korporasi, terutama korporasi multinasional. Akan tetapi, sambungnya, lawan ini akhir-akhir ini menemukan pintu-pintu yang tidak kentara sehingga mereka tidak pernah diincar sebagai musuh. Caranya adalah melalui bencana-bencana, alam maupun bukan. Indonesia terpuruk dalam bencana krisis keuangan, dan nyatalah bahwa Indonesia sejak itu menjadi ajang berkiprahnya korporasi (Tempo, edisi 12-18 Mei 2008).***

I Wibowo Koordinator ”Dijkstra Society.”
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, 30 Mei 2008.